URGENSI
KODIFIKASI
HUKUM EKONOMI
SYARIAH
Zafrullah
Salim
1.
Pengantar
Makalah ini bertujuan
menguraikan suatu kondisi (keadaan) mendesak yang menjadi alasan perlu atau
tidak perlunya dilakukan upaya
menghimpuan secara sistematis dan komprehenseif berbagai peraturan tertulis di
bidang hukum ekonomi syariah, sehingga menjadi salah satu unsur dalam peraturan
perundang-undangan (nasional).
Gagasan ke arah
kodifikasi hukum ekonomi syari’ah mendapat perhatian berbagai pihak, khususnya
para peminat dan pemerhati hukum ekonomi syari’ah, sehingga topik ini bermaksud
untuk membahas sejauhmana pemikiran mengkodifikasikan hukum ekonomi syariah
dapat dilaksanakan dalam kerangka sistem perundang-undangan nasional.
Beberapa fakta obyektif
penerapan sistem ekonomi syariah yang mendorong perlunya dibentuk fundamental
hukum ekonomi berwawasan syariah dapat dikemukakan dengan menyebutkan beberapa
perkembangan historis sebagai berikut:
2. Perkembangan
Historis Penerapan Ekonomi Syariah
Menurut Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yang
membahas hukum Islam dan keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu
temuan (invention) abad ini, yang ditandai dengan gerakan politik Islam
yang diprakarsai oleh para pemikir ekstrim (extrimist political movement),
melainkan berakar dari perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw),
seperti halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya hukum Islam di bidang
perkawinan. Dalam perjalanan waktu berabad-abad lamanya, praktik keuangan kuno
yang diterapkan di negara-negara Islam mengadopsi sistem yang dipaksakan oleh
kolonial dengan peraturan yang dibentuk oleh kekuasaan Barat. Dengan pengaruh
yang begitu kuat dari Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem
perbankan dan praktik bisnis yang didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan
bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen sekarang ini
terjadi seiring dengan independensi negara – negara Islam setelah Perang Dunia Kedua.[1]
Berdasarkan catatan
yang ada, institusi keuangan islami pertama adalah proyek Mit Ghamr yang
didirikan di Mesir pada tahun 1963, yang segera disusul oleh Nasser Social Bank
pada tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yang diprakarsai
oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sahamnya sebagian dipegang pemerintah
dan sebagian lainnya oleh swasta,
merupakan tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong
oleh keinginan untuk melepaskan diri dari politik dan budaya yang didominasi
Barat dan kenginan untuk melaksanakan suatu hal berdasarkan prinsip Syariah, di
berbagai negara kemudian telah berdiri beberapa bank berdasarkan prinsip
Syariah.
Gagasan suatu sistem
ekonomi Islam berangkat dari keprihatinan dunia Islam tentang penerapan sistem
bunga pada bank konvensional yang oleh sebagian kalangan muslim dianggap
termasuk dalam kategori riba. Oleh karena itu pada dasawarsa 70-an, ketika
untuk pertama kali muncul pemikiran tentang sistem ekonomi Islam dalam Konferensi
Internasional tentang Ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976.[2]
Institusi yang menawarkan
jasa keuangan islami mulai bermunculan pada tahun 1960-an secara terpencil,
tapi pergerakan perbankan dan keuangan islami mendapatkan momentum pertumbuhan
dengan didirikannya Dubai Islamic Bank dan Islamic Development Bank yang
berbasis di Jeddah pada tahun 1975. Dalam proses evolusinya, model teoritis
awal dari mudharabah dua tingkat dikembangkan menjadi model serbaguna yang
memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan dan bisnis
pembiayaan guna mendapatkan keuntungan dan membagikan bagian yang sama ke
deposan/investor. Guna melengkapi siklus keuangan islami, mulai bermunculanlah
institusi yang menawarkan jasa Takaful pada tahun 1979 sebagai pengganti sisten
asuransi moderen.[3]
Selain meningkatnyya
keterlibatan pakar Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian seperti
IRTI (IDB), dan penerbitan Standar Syariah oleh AAOIFI (Bahrain) yang
menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yang mulai berkembang, partisipasi
institusi perbankan utama dunia seperti HSBC, BNP Paribas dan Citigroup
pada tahun 1990-an memberikan daya
dorong yang untuk mentransformasikan dari disiplin ilmu yang kecil menjadi
idustri global. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) pada tahun
2002 yang berfungsi sebagai institusi yang menentukan standar keuangan islami
yang membukakan jalan bagi Keuangan Islami sebagai proposisi yang dapat
diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas promosi dan standardisaasi
operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yang mencakup
konsultasi di antara otoritas pembuat peraturan dan institusi finansial
internasional. Kemunculan sukuk sebagai investasi dan instrumen menejemen
likuiditas dalam enam tahun terakhir tidak hanya cenderung melengkapi siklus
investasi dalam struktur finansial yang mulai tumbuh, tapi juga menyediakan
daya dorong untuk perkembangnya dengan potensi yang besar di hadapannya.[4]
3. Perkembangan
Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan
Sejak zaman proklamasi
sampai dekade 1990-an, kata syariah dianggap tabu untuk dimasukkan dalam
khazanah perundang-undangan. Stigma syariah dalam wacana politik dan hukum
barangkali karena adanya phobia
(kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara
Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun dengan
perkembangan yang terjadi pada penggalan akhir dari rezim Orde Baru, pemerintah
dan kebijakan politik hukum nasaional mulai “toleran” dengan kata tersebut,
sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.
Berdasarkan penelusuran
(sementara) pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian
Hukum dan HAM, saat ini terdapat 108
peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Bank Indonesia
Penerapan kegiatan
bisnis berdasarkan prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup
signifikan untuk diamati, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal
ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan,
peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas.
- Rintisan penerapan ekonomi
(keuangan) syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional
perbankan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Beroperasinya
sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10
tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian
diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Kedua
undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan
nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system),
yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan
secara paralel.[5]
Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan
nasional, namun di sisi lain, dapat membawa konsekuensi terjadinya benturan hukum yang
disebabkan adanya perbedaan yang prinsip antara ketentuan hukum yang
berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.[6]
Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (misalnya, perizinan,
kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen
permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan rahasia bank, penilaian
kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang,
likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa eksistensi
perbankan syariah memerlukan landasan hukum yang kuat dalam bentuk
undang-undang.[7]
- Pada 7 Mei 2008, berlaku
UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai
dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN
sebagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara, maka sistem
perundang-undang nasional telah memberikan landasan hukum bagi upaya
memobilisasi dana publik secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya
pengembangan instrumen pembiayaan tersebut bertujuan untuk: (1) memperkuat
dan meningkatkan sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2)
memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan bench mark
instrumen keuangan syariah baik
di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas
dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif
instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri
yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong
pertumbuihan pasar keuangan syariah di Indonesia.[8]
SBSN (Sukuk Negara) yang merupakan surat berharga berdasarkan prinsip
syariah, sehingga berbagai bentuk akad sukuk yang dikenal dalam ekonomi
syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, dan lain-lain)
dapat diterapkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2008.
- Perkembangan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh badan hukum
perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan
terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah
(DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip
syariah.[9]
DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan
Komisaris bertugas melakukan pengawasan agar kegiatan perseroan tidak
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah
(umpama larangan riba - bunga uang atau return yang
diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang - maysir -
unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan – dan gharar - unsur ketidakpastian yang antara lain denngan penyerahan,
kualitas dan kuantitas.
- Sejalan
dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang
badan peradilan juga perlu “menyesuaikan diri”. UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah
satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tersebut adalah “perluasan
kewenangan Pengadilan Agama” dengan alasan “sesuai dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim.” Perluasan
tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.[10]
Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah.[11]
4. Kompilasi Ekonomi
Syariah – Peraturan MA
3. Pemikiran dan
Urgensi Kodifikasi Hukum
- Pengertian Kodifikasi
Dalam
Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and
comprehensive collection of laws[12]
yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara
sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan
atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam
suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and
regulations) into a code).[13]
Fockema
Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en
invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden
van enige omvang.[14]” (menyusun dan membawa
masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang
hukum dengan ruang lingkup yang luas).
M.J.
Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van
verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15]
(menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab
undang-undang).
Henry
Campbell Black mengartikan bahwa:
- codification adalah the process of
collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a
state or country, or the rules and regulations covering a particular area or
subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code
or revised statute.[16]
(proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau
peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum
atau praktik, yang biasanya menurut
subyek (isi)nya.
-
code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws,
rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in
force consolidated and classified according to subject matter[17]
(himpunan, kompendium, atau reveisi
hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi dari semua hukum
yang berlaku tetap yang dikonsolidasikan dan dikelompokkan menurut isinya. Maka
code (antara lain) berarti kitab undang-undang (wetboek).
Dari
berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah
proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau
peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan
kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code).
Bagaimana
membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara
teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan
memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tersebut
berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which
they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed
and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their
use.”[18]
(membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang
muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian
dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya).
Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya
(preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau
paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya.
Apakah
kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama
sekali baru? Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada
dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan
mengumpulkan dan menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara
sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini,
terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau
peraturan.
- Asal Usul Kodifikasi
Mengkodifikasikan
undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk
kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi
Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia,
dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang
kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi.
Dalam
filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat
semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada
perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan
hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum
subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu
bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis).
Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang
sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk
hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan
sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan
dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal
sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu
yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau
batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu yang disebut Corpus Iuris Civilis.[19]
Menurut
Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yang tidak ada
bandingannya sampai sekarang, terjadi akibat adanya dua lapisan rakyat (standen)
yang disebut Res Mancipi dan
Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok (golongan) patriciers dana
golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik karena tidak ada persamaan hak.
Golongan patriciers menguasai
Kodifikasi Hukum
“Materiil” Ekonomi Syariah
(1)
Latar
Belakang Sejarah Kodifikasi Hukum
(2)
Kodifikasi
Hukum Islam
[1] Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance – Religion, Risk, and
Return, (The Hague, Kluwer International, 1998), hal. 4 - 5
[2] Marulak Pardede & Ahyar, Problem Dual Banking System, dalam Buletin Hukum Perbankan & Kebanksetralan Vol. 3 – 1 April 2005,
hal. 13
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, A – Z Keuangan
Syariah, penerjemah Aditiya Wisnu Abadi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009),
hal. Xxvii - xxviii
[4] Ibid
[5] Pasal 1 angka 3 UU 10/1998
[6] Dhani Gunawan Idat, Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang
Perbankan Syariah, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol.
3 – 1 April 2005, hal. 2 - 3
[7] Ibid, hal. 11
[8] Penjelasan Umum alinea 2 UU 19/2008.
[9] UU 40/2007, Pasal 109, ayat (1), (2) dan (3)
[10] Penjelasan Umum, alinea dua, UU 3/2006.
[11] “Pasal 49 UU 3/2006.
[12] The American Haritage
Dictionary, hal. 287
[13] The American Haritage Dictionary, hal. 287
[14] Juridisch Woordenboek, 97
[15] Wolters’ Woordenboek Nederlands, hal. 263
[16] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[17] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[18] Black’s Law Dictionary, hal. 258
[19] Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yang dihimpun oleh Harun
Alrasid, 2006, hal. 146 – 147.
No comments:
Post a Comment