Sunday, June 9, 2013

URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARIAH




URGENSI KODIFIKASI
HUKUM EKONOMI SYARIAH


Zafrullah Salim


1. Pengantar

Makalah ini bertujuan menguraikan suatu kondisi (keadaan) mendesak yang menjadi alasan perlu atau tidak perlunya  dilakukan upaya menghimpuan secara sistematis dan komprehenseif berbagai peraturan tertulis di bidang hukum ekonomi syariah, sehingga menjadi  salah satu unsur dalam peraturan perundang-undangan (nasional).


Gagasan ke arah kodifikasi hukum ekonomi syari’ah mendapat perhatian berbagai pihak, khususnya para peminat dan pemerhati hukum ekonomi syari’ah, sehingga topik ini bermaksud untuk membahas sejauhmana pemikiran mengkodifikasikan hukum ekonomi syariah dapat dilaksanakan dalam kerangka sistem perundang-undangan nasional.

Beberapa fakta obyektif penerapan sistem ekonomi syariah yang mendorong perlunya dibentuk fundamental hukum ekonomi berwawasan syariah dapat dikemukakan dengan menyebutkan beberapa perkembangan historis sebagai berikut:


2. Perkembangan Historis Penerapan Ekonomi Syariah

Menurut  Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yang membahas hukum Islam dan keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu temuan (invention) abad ini, yang ditandai dengan gerakan politik Islam yang diprakarsai oleh para pemikir ekstrim (extrimist political movement), melainkan berakar dari perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw), seperti halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya hukum Islam di bidang perkawinan. Dalam perjalanan waktu berabad-abad lamanya, praktik keuangan kuno yang diterapkan di negara-negara Islam mengadopsi sistem yang dipaksakan oleh kolonial dengan peraturan yang dibentuk oleh kekuasaan Barat. Dengan pengaruh yang begitu kuat dari Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem perbankan dan praktik bisnis yang didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen sekarang ini terjadi seiring dengan independensi negara – negara Islam  setelah Perang Dunia Kedua.[1]

Berdasarkan catatan yang ada, institusi keuangan islami pertama adalah proyek Mit Ghamr yang didirikan di Mesir pada tahun 1963, yang segera disusul oleh Nasser Social Bank pada tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yang diprakarsai oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sahamnya sebagian dipegang pemerintah dan sebagian lainnya oleh swasta,  merupakan tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari politik dan budaya yang didominasi Barat dan kenginan untuk melaksanakan suatu hal berdasarkan prinsip Syariah, di berbagai negara kemudian telah berdiri beberapa bank berdasarkan prinsip Syariah.

Gagasan suatu sistem ekonomi Islam berangkat dari keprihatinan dunia Islam tentang penerapan sistem bunga pada bank konvensional yang oleh sebagian kalangan muslim dianggap termasuk dalam kategori riba. Oleh karena itu pada dasawarsa 70-an, ketika untuk pertama kali muncul pemikiran tentang sistem ekonomi Islam dalam Konferensi Internasional tentang Ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976.[2]


Institusi yang menawarkan jasa keuangan islami mulai bermunculan pada tahun 1960-an secara terpencil, tapi pergerakan perbankan dan keuangan islami mendapatkan momentum pertumbuhan dengan didirikannya Dubai Islamic Bank dan Islamic Development Bank yang berbasis di Jeddah pada tahun 1975. Dalam proses evolusinya, model teoritis awal dari mudharabah dua tingkat dikembangkan menjadi model serbaguna yang memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan dan bisnis pembiayaan guna mendapatkan keuntungan dan membagikan bagian yang sama ke deposan/investor. Guna melengkapi siklus keuangan islami, mulai bermunculanlah institusi yang menawarkan jasa Takaful pada tahun 1979 sebagai pengganti sisten asuransi moderen.[3]

Selain meningkatnyya keterlibatan pakar Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian seperti IRTI (IDB), dan penerbitan Standar Syariah oleh AAOIFI (Bahrain) yang menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yang mulai berkembang, partisipasi institusi perbankan utama dunia seperti HSBC, BNP Paribas dan Citigroup pada  tahun 1990-an memberikan daya dorong yang untuk mentransformasikan dari disiplin ilmu yang kecil menjadi idustri global. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) pada tahun 2002 yang berfungsi sebagai institusi yang menentukan standar keuangan islami yang membukakan jalan bagi Keuangan Islami sebagai proposisi yang dapat diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas promosi dan standardisaasi operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yang mencakup konsultasi di antara otoritas pembuat peraturan dan institusi finansial internasional. Kemunculan sukuk sebagai investasi dan instrumen menejemen likuiditas dalam enam tahun terakhir tidak hanya cenderung melengkapi siklus investasi dalam struktur finansial yang mulai tumbuh, tapi juga menyediakan daya dorong untuk perkembangnya dengan potensi yang besar di hadapannya.[4]


3. Perkembangan Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan

Sejak zaman proklamasi sampai dekade 1990-an, kata syariah dianggap tabu untuk dimasukkan dalam khazanah perundang-undangan. Stigma syariah dalam wacana politik dan hukum barangkali  karena adanya phobia (kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun dengan perkembangan yang terjadi pada penggalan akhir dari rezim Orde Baru, pemerintah dan kebijakan politik hukum nasaional mulai “toleran” dengan kata tersebut, sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.

Berdasarkan penelusuran (sementara) pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, saat ini terdapat  108 peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Bank Indonesia


Penerapan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup signifikan untuk diamati, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan, peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas.

  1. Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kedua  undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel.[5] Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan nasional, namun di sisi lain, dapat membawa konsekuensi  terjadinya benturan hukum yang disebabkan adanya perbedaan yang prinsip antara ketentuan hukum yang berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.[6] Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (misalnya, perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan rahasia bank, penilaian kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa eksistensi perbankan syariah memerlukan landasan hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang.[7]
  2. Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN sebagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara, maka sistem perundang-undang nasional telah memberikan landasan hukum bagi upaya memobilisasi dana publik secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan tersebut bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan bench mark  instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah di Indonesia.[8] SBSN (Sukuk Negara) yang merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah, sehingga berbagai bentuk akad sukuk yang dikenal dalam ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, dan lain-lain) dapat diterapkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2008.
  3. Perkembangan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.[9] DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan agar kegiatan perseroan tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah (umpama larangan riba - bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang - maysir - unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan – dan gharar  - unsur ketidakpastian  yang antara lain denngan penyerahan, kualitas dan kuantitas.
  4. Sejalan dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan juga perlu “menyesuaikan diri”. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tersebut adalah “perluasan kewenangan Pengadilan Agama” dengan alasan “sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim.” Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.[10] Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.[11]



4. Kompilasi Ekonomi Syariah – Peraturan MA








3. Pemikiran dan Urgensi Kodifikasi Hukum

  1. Pengertian Kodifikasi


Dalam Bahasa Latin, code atau codex  berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of laws[12] yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[13]

Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.[14]” (menyusun dan membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).

M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15] (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).

Henry Campbell Black mengartikan bahwa:
codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang  biasanya menurut subyek (isi)nya.
- code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan, kompendium, atau reveisi  hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi dari semua hukum yang berlaku tetap yang dikonsolidasikan dan dikelompokkan menurut isinya. Maka code (antara lain) berarti kitab undang-undang (wetboek).

Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code).

Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tersebut berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.”[18] (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya (preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya.

Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau peraturan.

  1. Asal Usul Kodifikasi

Mengkodifikasikan undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi.

Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu  yang disebut Corpus Iuris Civilis.[19]

Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yang tidak ada bandingannya sampai sekarang, terjadi akibat adanya dua lapisan rakyat (standen) yang disebut Res Mancipi  dan Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai

Kodifikasi Hukum “Materiil” Ekonomi Syariah

(1)    Latar Belakang Sejarah Kodifikasi Hukum
(2)    Kodifikasi Hukum Islam










[1] Frank E Vogel & Samuel L. Hayes,  Islamic Law and Finance – Religion, Risk, and Return, (The Hague, Kluwer International, 1998), hal. 4 - 5
[2] Marulak Pardede & Ahyar, Problem Dual Banking System,  dalam Buletin Hukum Perbankan  & Kebanksetralan Vol. 3 – 1 April 2005, hal. 13
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, A – Z Keuangan Syariah, penerjemah Aditiya Wisnu Abadi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. Xxvii - xxviii
[4] Ibid
[5] Pasal 1 angka 3 UU 10/1998
[6] Dhani Gunawan Idat, Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 3 – 1 April 2005, hal. 2 - 3
[7] Ibid, hal. 11
[8] Penjelasan Umum alinea 2 UU 19/2008.
[9] UU 40/2007, Pasal 109, ayat (1), (2) dan  (3)
[10] Penjelasan Umum, alinea dua, UU 3/2006. 
[11] “Pasal 49 UU 3/2006.
[12] The  American Haritage Dictionary, hal. 287
[13] The American Haritage Dictionary, hal. 287
[14] Juridisch Woordenboek, 97
[15] Wolters’ Woordenboek Nederlands, hal. 263
[16] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[17] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[18] Black’s Law Dictionary, hal. 258
[19] Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yang dihimpun oleh Harun Alrasid, 2006, hal. 146 – 147.

No comments:

Post a Comment